Saturday, 14 December 2013

ngawur ngidul

Undercover ... undercover itu yang segita di dalam celana bro. Bukan, itu underwear. hahaha jayus. undercover itu katanya bisa berarti dibalik layar, tersembuyi, penyamaran atau apalah bla bla bla. nama ini dipakai karena terdengar keren aja gitu, trus digabung gabungin gitu sama minangkabau trus jadi nama blog ini deh, mungkin terinspirasi juga sama film jakarta undercover.

Ya kalau dikait - kait kan dengan hal minangkabau kayak si penganut teori konspirasi gitu bisa bisa aja sih, banyak hal juga yang tersembunyi dari minangkabau yang katanya adatnya kental gitu. Kalau dilihat dari luar sih kayaknya indah gitu, tapi kalau udah berada di dalam berasa biasa aja, apa mungkin juga karena udah terbiasa. Hal yang tersembunyi (kayaknya nggak cocok, diganti penyimpangan aja deh) dibalik adat minangkabau yang kental itu misalnya anak mudanya sendiri tidak membudidayakan bahasa ibu. Mereka lebih cenderung pengen menggunakan bahasa indonesia, ya walaupun kedengaran nya tau sendiri lah. Sekerat ular sekerat belut. Suatu fenomena yang sangat menggelikan.

Fenomena lain yaitu di sebuah kota yang sarat akan aturan agama dengan pesantren dan wirid remaja nya yang rutin tapi masih belum terlihat dampak baik dari kegiatan itu. Banyak dari mereka mengikutinya hanya untuk mengisi nilai raport sekolah gitu, bukan ikhlas dari hati. Kata mereka sih pesantren itu membosankan, dari tahun ke tahun materinya tetap itu itu juga. Ya dilihat dari perspektif mereka memang benar sih materi yang diberikan belum segitu inovatif gitu. Tapi sebagai masyarakat kita menilai dengan materi segitu belum mampu berubah secara signifikan akhlaknya para remaja. Dari sisi guru atau pengawas kritiknya ya mereka kurang berinovasi gitu, belum mampu mengembangkan materi biasa menjadi luar biasa agar disukai peserta. Kalau bisa sih pengajar itu harus kreatif, karena kreatif bisa membuka wawasan lebih terbuka. Yasudahlah, tulisan saya bukan untuk mengkritik, cuma keterusan gitu,ha ha. Masih banyak kok manfaat positif dari kegiatan itu. COntoh nya dapat sertifikat yang nggak bisa dicantumin ke CV. 

Bergerak ke sisi terendah dari daratan. Pantai. Ada sekumpulan benda menakjubkan yang berbaris di pinggirannya gitu dan berwarna warni. Tingginya kisaran seratus centimeter dari tempatnya ditancapkan. Nama kerennya Tenda Ceper sih kata orang orang, kalau ngga tau gogling aja. Kata informasi internet bukanya jam 6 sore hingga 10 malam gitu. Tenda ceper berupa bangku ditutupi terpal atau payung besar yang kalau dilihat dari luar kita nggak tau ngapai orang itu di dalamnya. Pengunjungnya rame katanya, motor yang diparkir pun roda depannya selalu menghadap ke arah jalan seolah siap untuk kabur kalau ada razia. Logikanya sih ngapain mereka dipinggir pantai malem malem dibawah tenda coba? kalau pengen tau cobain sendiri aja gitu, kalau sial ya paling paling nongkrong di kantor satpol PP.

Hmmm, itu tadi kurang banyak penyimpangan yang terlintas untuk dituliskan, semoga senang. Nggak semua informasi diatas akurat sih, kata jebraw "that's why we have internet", jadi kalau kurang yakin ya gugling aja, siapa tahu ada yang punya informasi lebih akurat gitu dari sumbernya. Judulnya aja udah ngawur gitu apalagi isinya yang katanya cerita tentang "undercover". Sudah jam 6 pagi saatnya tidur. sekian.

Thursday, 7 April 2011

Baburu Kondiak





Olah Raga Buru Babi merupakan olah raga tradisional Masyarakat Minang Kabau, yang membantu para petani untuk menghabiskan hama babi yang sering merusak tanaman petani, saat ini ternyata babi sudah masuk dalam wilayah kotobaru, karena banyaknya lahjan-lahan tidur yang tidak tergarap, gambar ini adalah para pecinta buru babi akbar yang digelar Masyarakat nagari Salo yang sedang meleweti nagari Koto Baru




Pada mulanya tradisi ini untuk mengusir babi hutan yang merusak ladang para petani di Lima Puluh Kota. Tradisi berburu babi hutan atau ” kondiak” ini diperkirakan telah ada sejak sepuluh abad lampau. Tradisi ini juga menjadi bagian dari kehidupan agraris di Sumatra Barat. Sebagian orang Minang mewariskan tradisi tersebut karena mereka menggantungkan kehidupan dari hasil pertanian. Biasanya, saat memasuki masa panen, sawah para petani kerap diganggu dengan kehadiran babi-babi hutan. Gangguan ini jelas menjengkelkan. Kegiatan ini dilaksanakan tiga kali dalam seminggu yaitu pada hari Selasa, Sabtu dan minggu
Nah, dengan menangkap babi-babi liar itu, mereka berharap hasil panen yang didapat lebih berlimpah. Kendati awalnya hanya untuk menjaga hasil panen, belakangan acara berburu babi justru dijadikan hobi bagi sebagian masyarakat Minang. Tak mengheran- kan, bila kemudian acara berburu babi berlangsung saban pekan. Para pemilik anjing, biasanya sudah mengetahui lokasi yang akan dituju.
Sesuai adat dan tradisi, mereka terlebih dahulu harus menggelar musyawarah. Layaknya pertemuan agung, seorang pemuka adat menghormati para pemburu dengan simbol adat sirih pinang. Pertemuan ini lebih menyerupai ajang untuk bertukar pikiran. Tak hanya petani biasa yang hadir di acara ini. Beberapa pemimpin nagari (kesatuan masyarakat lokal dalam masyarakat Minangkabau) pun biasanya menyempatkan hadir untuk mempererat tali silaturahmi.
Dalam musyawarah inilah, para pemilik anjing biasanya secara sukarela mengumpul-kan uang. Dan, dana yang terkumpul akan diberikan kepada petani yang mempunyai keluhan. Biasanya, uang itu digunakan untuk mengobati anjing yang terluka saat berburu. Atau, buat mengganti sawah petani yang rusak karena dilewati anjing pemburu.
Tak semua anjing mempunyai keahlian yang sama. Bagi anjing yang baru pertama kali berburu, pemiliknya akan memberikan tetesan darah babi ke hidungnya. Ini dilakukan agar si anjing memiliki insting kuat terhadap buruannya.
Salak anjing semakin nyaring terdengar dari dalam hutan. Langkah-langkah kaki pemburu semakin kencang seiring deru nafas semakin tinggi. Seekor babi hutan tergolek lemah dikerubuti puluhan ekor anjing. Sorak sorai semakin ramai oleh ratusan pemburu dari dalam hutan. Inilah tradisi masyarakat Minangkabau tempo doeloe yang terus bertahan dan menjadi alternatif buat membunuh kejenuhan akan rutinitas kerja.

Monday, 28 March 2011

Foto Lembah Anai Tempo Dulu

Suatu ketika saya sedang menikmati alunan lagu minang, entah kenapa telinga ini sedang rindu dengan nada-nada yang memang saya akrab sejak kecil, terutama tarikan suara Elly Kasim. Salah satu lagu favorit saya adalah Malereang Tabiang.

Malereang lah tabiang malereang, mak oi

Malereang sampai nan ka pandakian

Den sangko langik nan lah teleang, mak oi

Kironyo awan nan manggajuju

Lagu tersebut bercerita tentang perjalanan menelusuri lereng-lereng tebing yang banyak dijumpai di Ranah Minang yang memang banyak daerah perbukitannya.
Lereng tebing di rel sepanjang Lembah Anai






Lembah anai sebelum ada jalur kereta api












Peresmian jalur kereta api Padangpanjang pertama kali, tahun 1895




Pembukaan jalur kereta api Padangpanjang, sekitar tahun 1895



Stasiun Padangpanjang tahun 1880-1900



Lembah Anai (1885-1895)



Terowongan Lembah Anai, tahun 1910


Topografi Lembah Anai menyebabkan kawasan ini sering terjadi longsor. Terlebih kawasan ini juga termasuk daerah rawan gempa seperti Sumatera pada umumnya. Orang-orang tua dahulu tidak akan lupa kenangan pahit pada 28 Juni 1926, di mana gempa sebesar 7,8 SR pernah melanda Padangpanjang dan sekitarnya. Menurut narasumber asal Bukittinggi yang baru beberapa bulan merantau di Jakarta mengatakan bahwa saat itu sudah ada cerita turun-temurun yang beredar di masyarakat tentang dashyatnya gempa tersebut. Digambarkan setelah terjadi gempa, seluruh telur ayam menjadi tamalangan (tidak bisa menetas dan membusuk dalam cangkangnya).

Hancurnya Stasiun Padangpanjang setelah gempa tahun 1926


Akibat gempa tahun 1926


Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 16 April 2010 kawasan Lembah Anai dihantam longsor besar. Longsor tersebut menyebabkan jembatan di dekat Lembah Anai rusak berat sehingga jalur Padang-Bukittinggi terputus total. Sebelumnya curah hujan memang cukup tinggi dan turun tanpa henti. Hal ini mengakibatkan volume air membesar dan meluluh lantakan jalanan yang mengitari bibir sungai di Lembah Anai ini.

Kerusakan Lembah Anai karena longsor dan banjir tahun 1900-1940


Kerusakan Lembah Anai karena longsor dan banjir tahun 1900-1940



Lembah Anai merupakan jalur utama yang menghubungkan kota kawasan ‘atas’ (darek) seperti Payakumbuh, Bukittinggi, Batusangkar, Padangpanjang dan Solok dengan kota di kawasan ‘bawah’ (pasisia) seperti Pariaman, Lubukbasung, Padang dan Painan. Jalur ini juga merupakan jalur awal perekonomian di Sumatera Barat untuk mengangkut hasil pertanian dari kawasan ‘atas’ ke ‘bawah’ dan hasil laut dari kawasan ‘bawah’ ke ’atas’. Akan pentingnya jalur ini, maka Pemerintah Belanda membangun jalur kereta api sebagai sarana transportasi. Setelah didirikannya PT Semen Padang pada tahun 1910, kereta api juga digunakan untuk mengangkut batubara dari Ombilin ke Padang. Ada juga dua jalur besar lainnya yang menghubungkan ‘atas’ ke ‘bawah’ seperti Sitinjau Laut dari arah Solok dan Kelok 44 dari arah Bukittinggi, tapi dengan jarak dan waktu tempuh yang berbeda.

Jalur kereta arah Kayu Tanam sekitar tahun 1895

Pembangunan rel kereta Air Putih Payakumbuh tahun 1913


Stasiun Kereta Payakumbuh sekitar tahun 1900





Foto-foto Lembah Anai tersebut kembali mengingatkan akan keindahan alam sumatera barat. Jalur yang akrab dengan pengamen dan penjaja paragede jaguang (perkedel jagung) yang sigap melompat saat bus melambat di tikungan tajam dan jalanan menanjak. Jalur yang sejuk berkabut tempat beristirahat saat perjalanan; tempat berderet-deret rumah makan menyajikan masakan khasnya. Dan saya pun hanya bisa berkata “Den takana jo kampuang”.

Friday, 11 February 2011

Ibu = Malaikat

Suatu ketika, seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia.

Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada Tuhan,
“Para malaikat disini mengatakan bahwa besok Engkau hendak mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara saya hidup disana? saya begitu kecil dan lemah”kata si bayi.
Tuhan menjawab,
“Aku telah memilih satu malaikat untukmu. ia akan menjaga dan mengasihimu”.

“Tapi di surga apa yang saya lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi saya untuk bahagia”demikian kata sang bayi.
Tuhan pun menjawab,
“Malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari, dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya, dan jadi lebih bahagia”.

Si bayi pun bertanya kembali,
“Lalu apa yang dapat saya lakukan saat saya ingin berbicara dengan-Mu?”
Sekali lagi Tuhan menjawab,
“Malaikatmu akan mengajarimu cara berdoa”.

Si bayi pun belum puas, ia pun bertanya lagi,
“Saya mendengar di bumi banyak orang jahat, siapa yang akan melindungi saya?”
Dengan penuh kesabaran, Tuhan pun menjawab,
“Malaikatmu akan melindungimu, walau taruhan jiwanya sekalipun”.

Si bayi pun tetap belum puas, dan melanjutkan pertanyaannya,
“Tapi saya akan bersedih, karena tidak melihat Engkau lagi”.
Dan Tuhan pun menjawab,
“Malaikatmu akan menceritakan padamu tentang Aku, dan akan mengajarkan bagaimana agar kamu kembali kepada-Ku, walau sesungguhnya Aku selalu berada disisimu”.

Saat itu surga begitu tenangnya, sehingga suara dari bumi dapat terdengar, dan sang anak dengan suara lirihnya bertanya,
“Tuhan, jika saya harus pergi sekarang, bisakah Engkau memberi tahu siapa nama malaikat di rumahku nanti?”

Tuhan pun menjawab,
“kamu dapat memanggil malaikatmu.....IBU...”

-----------------------------------------------------------------------

Kenanglah ibu yg menyayangimu.

Untuk ibu yg selalu meneteskan air mata saat aku pergi..

Ingatkah engkau ketika ibu mu rela tidur tanpa selimut?
Demi melihatmu tidur nyenyak dengan dua selimut membalut tubuhmu itu?

Ingatkah engkau ketika jemari ibu mengelus lembut kepalamu?
Dan ingatkah engkau ketika air mata menetes dari mata ibu mu ketika ia melihatmu terbaring sakit?

Sesekali jenguklah ibu mu yg selalu menantikan kepulanganmu di rumah, kembalilah memohon maaf pada ibu mu yg selalu rindu akan senyumanmu.

Simpanlah sejenak kesibukan-kesibukan duniawi yg selalu membuatmu lupa untuk pulang.

Segera jenguk ibu mu yg berdiri menantimu didepan pintu, bahkan sampai malampun kian larut.

Dan jangan biarkan engkau kehilangan saat-saat yg akan kau rindukan di masa datang..
Ketika ibu telah tiada..
Tak ada lagi yg berdiri di depan pintu menyambut kita..
Tak ada lagi senyuman indah..tanda bahagia.
Yg ada hanyalah kamar yg kosong tiada penghuninya..
Yg ada hanyalah baju yg menggantung di lemari kamarnya..
Tak ada lagi yg menyiapkan sarapan pagi untukmu..
Tak ada lagi yg merawatmu sampai larut malam saat engkau sakit..
Tak ada lagi dan Tak akan ada lagi yg meneteskan air mata mendoa'kanmu disetiap hembusan nafasnya..

Kembalilah segera..
Peluk ibu yg selalu menyanyangimu..

Ciumlah kaki ibu yg selalu merindukanmu dan berilah yg terbaik di akhir hayatnya.

Sahabat..
berdoa'lah untuk kesehatannya. dan rasakanlah pelukan cinta dan kasih sayangnya.
Jangan biarkan engkau menyesal di masa datang.
Kembalilah pada ibu yg selalu menyayangimu.
Kenanglah semua cinta dan kasih sayangnya..

Ibu, maafkan aku..
Sampai kapanpun jasamu tak akan terbalas.

......TERIMA KASIH IBU......

Monday, 20 December 2010

Minangkabau

The Minangkabau ethnic group (also known as Minang or Padang) is indigenous to the highlands of West Sumatra, in Indonesia. Their culture is matrilineal, with property and land passing down from mother to daughter, while religious and political affairs are the province of men (although some women also play important roles in these areas). Today 4 million Minangs live in West Sumatra, while about 3 million more are scattered throughout many Indonesian and Malay peninsula cities and towns.
The Minangkabau are strongly Islamic, but also follow their ethnic traditions, or adat. The Minangkabau adat was derived from animist beliefs before the arrival of Islam, and remnants of animist beliefs still exist even among some practicing Muslims. The present relationship between Islam and adat is described in the saying "tradition [adat] founded upon Islamic law, Islamic law founded upon the Qur'an" (adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah).
Their West Sumatran homelands were the location of the Padri War from 1821 to 1837.


Etymology
The name Minangkabau is thought to be a conjunction of two words, minang ("victorious") and kabau ("buffalo"). There is a legend that the name is derived from a territorial dispute between the Minangkabau and a neighbouring prince. To avoid a battle, the local people proposed a fight to the death between two water buffalo to settle the dispute. The prince agreed and produced the largest, meanest, most aggressive buffalo. The Minangkabau produced a hungry baby buffalo with its small horns ground to be as sharp as knives. Seeing the adult buffalo across the field, the baby ran forward, hoping for milk. The big buffalo saw no threat in the baby buffalo and paid no attention to it, looking around for a worthy opponent. But when the baby thrust his head under the big bull's belly, looking for an udder, the sharpened horns punctured and killed the bull, and the Minangkabau won the contest and the dispute.
The roofline of traditional houses in West Sumatra, called Rumah Gadang (Minangkabau, "big house"), curve upward from the middle and end in points, in imitation of the water buffalo's upward-curving horns.
The first mention of the name Minangkabau as Minangkabwa, is in the 1365 Majapahit court poem, the Desawarnana (or Nagarakrtagama) composed by Mpu Prapanca.


History
People who spoke Austronesian languages first arrived in Sumatra around 500 BCE, as part of the Austronesian expansion from Taiwan to Southeast Asia. The Minangkabau language is a member of the Austronesian language family, and is closest to the Malay language, though when the two languages split from a common ancestor and the precise historical relationship between Malay and Minangkabau culture is not known. Until the 20th century the majority of the Sumatran population lived in the highlands. The highlands are well suited for human habitation, with plentiful fresh water, fertile soil, a cool climate, and valuable commodities such as gold and ivory. It is probable that wet rice cultivation evolved in the Minangkabau highlands long before it appeared in other parts of Sumatra, and predates significant foreign contact.[5]
Adityawarman, a follower of Tantric Buddhism with ties to the Singhasari and Majapahit kingdoms of Java, is believed to have founded a kingdom in the Minangkabau highlands at Pagaruyung and ruled between 1347 and 1375, most likely to control the local gold trade. The establishment of a royal system seems to have involved conflict and violence, eventually leading to a division of villages into one of two systems of tradition, Bodi Caniago and Koto Piliang, the later having overt allegiances to royalty.[6] By the 16th century, the time of the next report after the reign of Adityawarman, royal power had been split into three recognized reigning kings. They were the King of the World (Raja Alam), the King of Adat (Raja Adat), and the King of Religion (Raja Ibadat), and collectively they were known as the Kings of the Three Seats (Rajo Tigo Selo).[7] The Minangkabau kings were charismatic or magical figures who received a percentage of gold mining and trading profits, but did not have much authority over the conduct of village affairs.[6][8]


Tuanku Imam Bonjol, a leader in the Padri War.
In the mid-16th century, the Aceh Sultanate invaded the Minangkabau coast, occupying port outlets in order to acquire gold. It was also around the 16th century that Islam started to be adopted by the Minangkabau. The first contact between the Minangkabau and western nations occurred with the 1529 voyage of Jean Parmentier to Sumatra. The Dutch East India Company first acquired gold at Pariaman in 1651, but later moved south to Padang to avoid interference from the Acehnese occupiers. In 1663 the Dutch agreed to protect and liberate local villages from the Acehnese in return for a trading monopoly, and as a result setup trading posts at Painan and Padang. Until early in the 19th century the Dutch remained content with their coastal trade of gold and produce, and made no attempt to visit the Minangkabau highlands. As a result of conflict in Europe, the British occupied Padang from 1781 to 1784 during the Fourth Anglo-Dutch War, and again from 1795 to 1819 during the Napoleonic Wars.
Late in the 18th century the gold supply which provided the economic base for Minangkabau royalty began to be exhausted. Around the same time other parts of the Minangkabau economy had a period of unparalleled expansion as new opportunities for the export of agricultural commodities arose, particularly with coffee which was in very high demand. A civil war started in 1803 with the Padri fundamentalist Islamic group in conflict with the traditional syncretic groups, elite families and Pagaruyung royals. A large part of the Minangkabau royal family were killed by the Padri in 1815. As a result of a treaty with a number of penghulu and representatives of the murdered Minangkabau royal family, Dutch forces made their first attack on a Padri village in April 1821.[6] The first phase of the war ended in 1825 when the Dutch signed an agreement with the Padri leader Tuanku Imam Bonjol to halt hostilities, allowing them to redeploy their forces to fight the Java War. When fighting resumed in 1832, the reinforced Dutch troops were able to more effectively attack the Padri. The main center of resistance was captured in 1837, Tuanku Imam Bonjol was captured and exiled soon after, and by the end of the next year the war was effectively over.


Minangkabau chiefs, picture taken between 1910-1930
With the Minangkabau territories now under the control of the Dutch, transportation systems were improved and economic exploitation was intensified. New forms of education were introduced, allowing some Minangkabau to take advantage of a modern education system. The 20th century marked a rise and cultural and political nationalism, culminating in the demand for Indonesian independence. Later rebellions against the Dutch occupation occurred such as the 1908 Anti-Tax Rebellion and the 1927 Communist Uprising. During World War II the Minangkabau territories were occupied by the Japanese, and when the Japanese surrendered in August 1945 Indonesia proclaimed independence. The Dutch attempts to regain control of the area were ultimately unsuccessful and in 1949 the Minangkabau territories became part of Indonesia as the province of Central Sumatra.
In February 1958, dissatisfaction with the centralist and communist-leaning policies of the Sukarno administration triggered a revolt which was centered in the Minangkabau region of Sumatra, with rebels proclaiming the Revolutionary Government of the Republic of Indonesia (PRRI) in Bukittinggi. The Indonesian military invaded West Sumatra in April 1958 and had recaptured major towns within the next month. A period of guerrilla warfare ensued, but most rebels had surrendered by August 1961. In the years following, West Sumatra was like an occupied territory with Javanese officials occupying most senior civilian, military and police positions.[9] The policies of centralization continued under the Suharto regime. The national government legislated to apply the Javanese desa village system throughout Indonesia, and in 1983 the traditional Minangkabau nagari village units were split into smaller jorong units, thereby destroying the traditional village social and cultural institutions.[10] In the years following the downfall of the Suharo regime decentralization policies were implemented, giving more autonomy to provinces, thereby allowing West Sumatra to reinstitute the nagari system.


Culture
The Minangs are the world's largest matrilineal society, in which properties such as land and houses are inherited through female lineage. Some scholars argue that this might have caused the diaspora (Minangkabau, "merantau") of Minangkabau males throughout the Maritime Southeast Asia to become scholars or to seek fortune as merchants. As early as the age of 7, boys traditionally leave their homes and live in a surau (a prayer house & community centre) to learn religious and cultural (adat) teachings. When they are teenagers, they are encouraged to leave their hometown to learn from schools or from experiences out of their hometown so that when they are adults they can return home wise and 'useful' for the society and can contribute their thinking and experience to run the family or nagari (hometown) when they sit as the member of 'council of uncles'.
This tradition has created Minang communities in many Indonesian cities and towns, which nevertheless are still tied closely to their homeland; a state in Malaysia named Negeri Sembilan is heavily influenced by Minang culture.
Due to their culture that stresses the importance of learning, Minang people are over-represented in the educated professions in Indonesia, with many ministers from Minang. The first female minister was a Minang scholar.
In addition to being renowned as merchants, the Minangs have also produced some of Indonesia's most influential poets, writers, statesmen, scholars, and religious scholars. Being fervent Muslims, many of them embraced the idea of incorporating Islamic ideals into modern society. Furthermore, the presence of these intellectuals combined with the people's basically proud character, made the Minangkabau homeland (the province of West Sumatra) one of the powerhouses in the Indonesian struggle for independence.
Today both natural and cultural tourism have become considerable economic activities in West Sumatra.


Ceremonies and festivals

Women carrying platters of food to a ceremony
Minangkabau ceremonies and festivals include:
Turun mandi - baby blessing ceremony
Sunat rasul - circumcision ceremony
Baralek - wedding ceremony
Batagak pangulu - clan leader inauguration ceremony. Other clan leaders, all relatives in the same clan and all villagers in the region are invited. The ceremony will last for 7 days or more.
Turun ka sawah - community work ceremony
Manyabik - harvesting ceremony
Hari Rayo - Islamic festivals
Adoption ceremony
Adat ceremony
Funeral ceremony
Wild boar hunt ceremony
Maanta pabukoan - sending food to mother-in-law for Ramadhan
Tabuik - Muslim celebration in the coastal village of Pariaman
Tanah Ta Sirah, inaugurate a new clan leader (Datuk) when the old one died in the few hours (no need to proceed batagak pangulu, but the clan must invite all clan leader in the region).
Mambangkik Batang Tarandam, inaugurate a new leader (Datuk) when the old one died in the pass 10 or 50 years and even more, must do the Batagak Pangulu.

Cuisine
The staple ingredients of the Minangkabau diet are rice, fish, coconut, green leafy vegetables and chili. The usage of meat is mainly limited to special occasions, and beef and chicken are most commonly used. Pork is not halal and therefore not consumed, while lamb, goat and game are rarely consumed for reasons of taste and availability. Spiciness is a characteristic of Minangkabau food, and the most commonly used herbs and spices are chili, turmeric, ginger and galangal. Vegetables are consumed two or three times a day. Fruits are mainly seasonal, although fruits such as banana, papaya and citrus are continually available.[16]
Three meals a day are typical with lunch being the most important meal, except during the fasting month of Ramadan where lunch is not eaten. Meals commonly consist of steamed rice, a hot fried dish and a coconut milk dish, with a little variation from breakfast to dinner.[16] Meals are generally eaten from a plate using the fingers of the right hand.[citation needed] Snacks are more frequently eaten by people in urban areas than in villages. Western food has had little impact upon Minangkabau consumption and preference to date.[16]
Rendang is a dish which is considered to be a characteristic of Minangkabau culture, and is cooked 4-5 times a year.[16] Other characteristic dishes include Asam Padeh, Soto Padang, Sate Padang, Dendeng Balado (beef with chili sauce).
Food has a central role in the Minangkabau ceremonies which honor religious and life cycle rites.
Minangkabau food is popular among Indonesians and restaurants are present throughout Indonesia. Nasi Padang restaurants, named after the capital of West Sumatra, are known for placing a variety of Minangkabau dishes on a customer's table along with rice and billing only for what is taken.[17] Nasi Kapau is another restaurant variant which specializes in dishes using offal and the use of tamarind to add a sourness to the spicy flavor.


www.wikpedia.org

Saturday, 4 September 2010

Malam Bainai

Malam Bainai

Secara harfiah bainai artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita. Tumbukan halus daun inai ini kalau dibiarkan lekat semalam, akan meninggalkan bekas warna merah yang cemerlang pada kuku.

Lazimnya dan seharusnya acara ini dilangsungkan malam hari sebelum besok paginya calon anak daro melangsungkan akad nikah. Apa sebab demikian ?

Pekerjaan mengawinkan seorang anak gadis untuk pertama kalinya di Minangkabau bukan saja dianggap sebagai suatu yang sangat sakral tetapi juga kesempatan bagi semua keluarga dan tetangga untuk saling menunjukkan partisipasi dan kasih sayangnya kepada keluarga yang akan berhelat. Karena itu jauh-jauh hari dan terutama malam hari sebelum akad nikah dilangsungkan semua keluarga dan tetangga terdekat tentu akan berkumpul di rumah yang punya hajat. Sesuai dengan keakraban masyarakat agraris mereka akan ikut membantu menyelesaikan berbagai macam pekerjaan, baik dalam persiapan di dapur maupun dalam menghias ruangan-ruangan dalam rumah. Pada kesempatan inilah acara malam bainai itu diselenggarakan, dimana seluruh keluarga dan tetangga terdekat mendapat kesempatan untuk menunjukkan kasih sayang dan memberikan doa restunya melepas dara yang besok pagi akan dinikahkan.

Selain dari tujuan, menurut kepercayaan orang-orang tua dulu pekerjaan memerahkan kuku-kuku jari calon pengantin wanita ini juga mengandung arti magis. Menurut mereka ujung-ujung jari yang dimerahkan dengan daun inai dan dibalut daun sirih, mempunyai kekuatan yang bisa melindungi si calon pengantin dari hal-hal buruk yang mungkin didatangkan manusia yang dengki kepadanya. Maka selama kuku-kukunya masih merah yang berarti juga selama ia berada dalam kesibukan menghadapi berbagai macam perhelatan perkawinannya itu ia akan tetap terlindung dari segala mara bahaya. Setelah selesai melakukan pesta-pesta pun warna merah pada kuku-kukunya menjadi tanda kepada orang-orang lain bahwa ia sudah berumah tangga sehingga bebas dari gunjingan kalau ia pergi berdua dengan suaminya kemana saja.

Kepercayaan kuno yang tak sesuai dengan tauhid Islam ini, sekarang cuma merupakan bagian dari perawatan dan usaha untuk meningkatkan kecantikan mempelai perempuan saja. Tidak lebih dari itu. Memerahkan kuku jari tidak punya kekuatan menolak mara bahaya apa pun, karena semua kekuatan adalah milik Allah semata-mata.

Dibeberapa nagari di Sum Bar acara malam bainai ini sering juga diawali lebih dahulu dengan acara mandi-mandi yang dilaksanakan khusus oleh wanita-wanita disiang hari atau sore harinya. Maksudnya kira-kira sama dengan acara siraman dalam tradisi Jawa. Calon anak daro dibawa dalam arak-arakan menuju ke tepian atau ke pincuran tempat mandi umum yang tersedia dikampungnya. Kemudian perempuan-perempuan tua yang mengiringkan termasuk ibu dan neneknya, setelah membacakan doa, secara bergantian memandikan anak gadis yang besok akan dinobatkan jadi pegantin itu.

Jika kita simpulkan maka hakikat dari kedua acara ini untuk zaman kini mempunyai tujuan dan makna sbb:
Untuk mengungkapkan kasih sayang keluarga kepada sang dara yang akan meninggalkan masa remajanya,
Untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin yang segera akan membina kehidupan baru berumahtangga,
Untuk menyucikan diri calon pengantin lahir dan batin sebelum ia melaksanakan acara yang sakral, yaitu akad nikah,
Untuk membuat anak gadis kelihatan lebih cantik, segar dan cemerlang selama ia berdandan sebagai anak daro dalam perhelatan-perhelatannya.

Bagi orang-orang Minang yang mengawinkan anak gadisnya di Jakarta, acara-acara ini juga sudah lazim dilaksanakan. Tetapi untuk efisiensi waktu dan pertimbangan-pertimbangan lain seringkali kedua acara tersebut pelaksanaannya digabung menjadi satu. Acara mandi-mandipun dibuat praktis tanpa harus benar-benar mengguyur si calon pengantin, tapi cukup dengan memercikkan saja air yang berisi haruman tujuh kembang itu di beberapa tempat ditubuhnya.


Tata busana

Untuk melaksanakan acara ini calon pengantin wanita didandani dengan busana khusus yang disebut baju tokah dan bersunting rendah. Tokah adalah semacam selendang yang dibalutkan menyilang di dada sehingga bagian-bagian bahu dan lengan nampak terbuka.

Untuk serasi dengan suasana, maka orang-orang yang hadir biasanya juga mengenakan baju-baju khusus. Teluk belanga bagi pria dan baju kurung ringan bagi wanita, begitu juga ayah bunda dari calon anak daro.

Disamping itu biasanya juga disiapkan beberapa orang teman-teman sebaya anak daro yang sengaja diberi berpakaian adat Minang untuk lebih menyemarakkan suasana.


Tata cara

Jika acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolis maka di salah satu ruangan di atas rumah ditempatkan sebuah kursi dengan payung kuning terkembang melindunginya. Sesudah sembahyang Magrib kalau tamu-tamu sudah cukup hadir, maka calon anak daro yang telah didandani dibawa keluar dari kamarnya, diapit oleh gadis-gadis kawan sebayanya yang berpakaian adat.

Untuk memberikan warna Islami, keluarnya calon anak daro dari kamarnya ini disambut oleh kelompok kesenian yang mendendangkan salawat Nabi yang mengiringkannya sampai duduk di kursi yang telah disediakan. Seorang dari saudaranya yang laki-laki, apakah kakaknya atau adiknya, berdiri dibelakangnya memegang payung kuning. Ini maknanya ialah bahwa saudara laki-laki yang kelak akan menjadi mamak bagi anak-anak yang akan dilahirkan oleh calon pengantin merupakan tungganai rumah yang bertanggung jawab untuk melindungi dan menjaga kehormatan saudara-saudaranya dan kemenakan-kemenakannya yang wanita.

Setelah itu dua wanita saudara-saudara ibunya berdiri mengapit dikiri kanan sambil memegang kain simpai. Ini maknanya : menurut sistem kekerabatan matrilinial, saudara-saudara ibu yang wanita adalah pewaris pusako yang berkedudukan sama dengan ibu anak daro.

Karena itu dia juga berkewajiban untuk melindungi anak daro dari segala aib yang bisa menimbulkan gunjingan yang dapat merusak integritas kaum seperinduan.

Walaupun acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolik, kecuali ayah kandungnya maka orang-orang yang diminta untuk memandikan dengan cara memercikkan air haruman tujuh macam bunga kepada calon pengantin wanita ini hanya ditentukan untuk perempuan-perempuan tua dari keluarga terdekat anak daro dan dari pihak bakonya. Jumlahnya harus ganjil. Umpamanya lima, tujuh atau sembilan orang. Dan yang terakhir melakukannya adalah ayah ibunya.

Jumlah ganjilnya ini ditetapkan sesuai dengan kepercayaan nenek moyang dahulu yang mungkin mengambil pedoman dari kekuasaan Tuhan dan peristiwa alam, atau karena angka-angka ganjil selalu berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sakral. Seperti sembahyang lima waktu, langit berlapis tujuh, sorga yang paling diidamkan oleh seorang Muslim juga sorga ketujuh. Tawaf keliling Ka'bah dan Sa'i pulang balik antara Safa dan Marwa dilaksanakan juga tujuh kali.

Pada beberapa kenagarian calon anak daro yang akan dimandikan itu selain disiram dengan air yang berisi racikan tujuh kembang, maka tubuhnya juga dibaluti dengan tujuh lapis kain basahan yang berbeda-beda warnanya. Setiap kali satu orang tua selesai menyiramkan air ketubuhnya, maka satu balutan kain dibuka, dst.'

Jika acara mandi-mandi ini dilaksanakan secara simbolik, maka air haruman tujuh bunga itu dipercikkan ketubuh calon anak daro dengan mempergunakan daun sitawa sidingin. Tumbukan daun ini dikampung-kampung sering dipakai diluar maupun diminum, ia berkhasiat untuk menurunkan panas badan. Karena itu disebut daun sitawa sidingin.

Acara memandikan calon anak daro ini diakhiri oleh ibu bapaknya. Setelah itu kedua orang tuanya itu akan langsung membimbing puterinya melangkah menuju ke pelaminan ditempat mana acara bainai akan dilangsungkan.

Perjalanan ini akan ditempuh melewati kain jajakan kuning yang terbentang dari kursi tempat mandi-mandi ke tempat pelaminan.

Langkah diatur sangat pelan-pelan sekali karena kedua orang tua harus menghayati betul acara itu yang mengandung nilai-nilai simbolik yang sangat berarti. Setelah sekian tahun ia membesarkan dan membimbing puterinya dengan penuh kehormatan dan kasih sayang, maka malam itu adalah kesempatan terakhir ia dapat melakukan tugasnya sebagai ibu bapa, karena besok setelah akad nikah maka yang membimbingnya lagi adalah suaminya.

Kain jajakan kuning ini setelah diinjak dan ditempuh oleh calon anak daro, segera digulung oleh saudara kali-lakinya yang tadi waktu acara mandi-mandi memegang payung kuning. Tindak penggulungan kain kuning itu mengandung harapan-harapan, bahwa si calon anak daro benar-benar melakukan perkawinan itu cukuplah satu kali itu saja seumur hidupnya. Kalaupun akan berulang, maka itu karena maut yang memisahkan mereka.

Bainai

Jika acara memandikan calon anak daro hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja, maka acara melekatkan tumbuhan inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita Minang ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Dapat pula dimintakan untuk dilaksanakan oleh tamu-tamu yang dihormati malam itu, bisa oleh keluarga calon besan.

Ada beberapa kenagarian di SumBar, acara bainai ini juga dapat dilakukan bersamaan dengan mengikutsertakan calon pengantin pria. Tapi duduk mereka tidak disandingkan, dan kalaupun ada yang langsung mempersandingkan maka tempat calon pengantin pria tidak di sebelah kanan, tetapi di sebelah kiri calon pengantin wanita.

Kuku jari yang diinai sama juga dengan acara mandi-mandi, harus ganjil jumlahnya. Paling banyak sembilan.

Menurut tradisi di kampung dulu, kesempatan pada acara bainai ini setiap orang tua yang diminta untuk melekatkan inai ke jari calon anak daro setelah selesai biasanya mereka berbisik ke telinga anak daro. Bisikan-bisikan itu bisa berlangsung lama, bisa sangat singkat.

Maksudnya mungkin untuk memberikan nasehat-nasehat yang sangat rahasia mengenai kehidupan berumahtangga, atau bisa juga hanya sekedar seloroh untuk membuat si calon anak daro tidak cemberut saja dihadapan orang ramai.

Pelaksanaan kedua acara ini biasanya dipimpin oleh perempuan-perempuan yang memang telah ahli mengenai pekerjaan ini yang dibeberapa daerah di Sum Bar disebut uci-uci.

Seringkali juga pada malam bainai ini acara dimeriahkan dengan menampilkan kesenian-kesenian tradisional Minang. Di daerah pantai Sum Bar, hiburan yang ditampilkan lazimnya ialah musik gamat dengan irama yang hampir sama dengan lagu-lagu senandung dan joget Melayu Deli, sehingga mampu untuk mengundang orang secara spontan tegak menari menyambut selendang-selendang yang diulurkan oleh para penyanyi dan penari-penari wanita.


(Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau)