Malereang lah tabiang malereang, mak oi
Malereang sampai nan ka pandakian
Den sangko langik nan lah teleang, mak oi
Kironyo awan nan manggajuju
Lagu tersebut bercerita tentang perjalanan menelusuri lereng-lereng tebing yang banyak dijumpai di Ranah Minang yang memang banyak daerah perbukitannya.










Topografi Lembah Anai menyebabkan kawasan ini sering terjadi longsor. Terlebih kawasan ini juga termasuk daerah rawan gempa seperti Sumatera pada umumnya. Orang-orang tua dahulu tidak akan lupa kenangan pahit pada 28 Juni 1926, di mana gempa sebesar 7,8 SR pernah melanda Padangpanjang dan sekitarnya. Menurut narasumber asal Bukittinggi yang baru beberapa bulan merantau di Jakarta mengatakan bahwa saat itu sudah ada cerita turun-temurun yang beredar di masyarakat tentang dashyatnya gempa tersebut. Digambarkan setelah terjadi gempa, seluruh telur ayam menjadi tamalangan (tidak bisa menetas dan membusuk dalam cangkangnya).


Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 16 April 2010 kawasan Lembah Anai dihantam longsor besar. Longsor tersebut menyebabkan jembatan di dekat Lembah Anai rusak berat sehingga jalur Padang-Bukittinggi terputus total. Sebelumnya curah hujan memang cukup tinggi dan turun tanpa henti. Hal ini mengakibatkan volume air membesar dan meluluh lantakan jalanan yang mengitari bibir sungai di Lembah Anai ini.



Lembah Anai merupakan jalur utama yang menghubungkan kota kawasan ‘atas’ (darek) seperti Payakumbuh, Bukittinggi, Batusangkar, Padangpanjang dan Solok dengan kota di kawasan ‘bawah’ (pasisia) seperti Pariaman, Lubukbasung, Padang dan Painan. Jalur ini juga merupakan jalur awal perekonomian di Sumatera Barat untuk mengangkut hasil pertanian dari kawasan ‘atas’ ke ‘bawah’ dan hasil laut dari kawasan ‘bawah’ ke ’atas’. Akan pentingnya jalur ini, maka Pemerintah Belanda membangun jalur kereta api sebagai sarana transportasi. Setelah didirikannya PT Semen Padang pada tahun 1910, kereta api juga digunakan untuk mengangkut batubara dari Ombilin ke Padang. Ada juga dua jalur besar lainnya yang menghubungkan ‘atas’ ke ‘bawah’ seperti Sitinjau Laut dari arah Solok dan Kelok 44 dari arah Bukittinggi, tapi dengan jarak dan waktu tempuh yang berbeda.




Foto-foto Lembah Anai tersebut kembali mengingatkan akan keindahan alam sumatera barat. Jalur yang akrab dengan pengamen dan penjaja paragede jaguang (perkedel jagung) yang sigap melompat saat bus melambat di tikungan tajam dan jalanan menanjak. Jalur yang sejuk berkabut tempat beristirahat saat perjalanan; tempat berderet-deret rumah makan menyajikan masakan khasnya. Dan saya pun hanya bisa berkata “Den takana jo kampuang”.
mantabbb gan,,tapi ane mau lihat jlan raya tempo dulu,,ada ga' ngan?? ane mau lhat jlan ane pulang kampung ..
ReplyDeleteBegitu indahnya zaman dahulu, walau serba terbatas ternyata indah skali, hidup dengan nafas bumi yg masih segar, saya merinding dan terharu melihat lintasan jalan menuju kmpng halaman saya padang panjang, kakek saya dulu adalah seorang masinis, beliau pandai bermain bola kaki dan memiliki teman orang belanda, cerita ibu ku, tp sayang kakek ku meninggal ketika ibu ku masih 3 bln dlm kandungan, seandainya aku bisa hidup lg suatu saat, aku ingin kembali pada erah foto2 diatas
ReplyDeleteDuh, blog gue dicuri lina
ReplyDelete